Hukum Zina Dalam Agama Islam
Hukum Zina Dalam Islam |
Lantaran beratnya konsekeunsi & sanksi bagi pelaku zina, Islam menaruh persyaratan yg relatif ketat pada pembuktiannya. Hal tadi menjadi upaya supaya tidak gampang menuduh orang secara asal-asalan telah melakukan perbuatan haram tadi.
Dalam fikih, zina ditetapkan menurut pengakuan diri sendiri & kesaksian orang lain. Pengakuan atau mengakui secara sadar bahwa dirinya sendiri sudah berbuat zina adalah dasar primer bagi penetapan sanksi. Para ulama tidak berselisih mengenai kekuatan pengakuan diri sendiri menjadi dasar pengambilan putusan. Hanya saja mereka tidak selaras pendapat soal jumlah yg diucapkan.
Menurut Imam Malik & Imam Syafi’I, apabila seseorang muslim mengaku secara sadar sudah melakukan perbuatan zina pada satu kali ucapan, maka telah relatif baginya buat dijatuhi sanksi. Akan namun tidak selaras dengan Imam Abu Hanifah, yg beropini bahwa seorang yg mengakui dirinya sudah berbuat zina, sanksi baru bisa dijatuhkan apabila diucapkan sebesar empat kali pada lokasi yg berbeda-beda. Hal tadi disyaratkan supaya apakah pengakuannya dilakukan dgn pencerahan atau atas tekanan orang lain.
Dalam hadis yg diriwayatkan Abu Dawud, seorang pernah mengaku pada Rasulullah bahwa dirinya sudah berzina. Rasulullah ketika itu bersikap pasif karena risi ucapan orang tadi tidak secara sadar atau tekanan orang lain. Baru sehabis ucapan keempat kalinya mengakui perbuatan zina, Rasulullah menyuruh para teman buat menaruh hadd berupa rajam.
Jabir berserta teman lainnya kemudian merajam pelaku zina tadi. Setelah hukuman rajamnya selesai, para teman melaporkannya pada Rasulullah, lalu dia bersabda: “Mengapa tdk engkau abaikan beliau & engkau bawa kemari?” Rasulullah hendak mengecek: apakah dia akan meninggalkan hadd atau tidak. Menurut para ulama, apabila seorang yg mengaku sudah berzina kemudian menarik pulang ucapannya, maka hukumannya gugur. Lebih jauh Imam Syafi’I menyebutkan bahwa sanksi zina menurut pengakuan eksklusif bisa digugurkan menggunakan pertaubatan.
Selain pengakuan, para ulama putusan bulat perbuatan zina bisa ditetapkan menurut warta para saksi. Berdasarkan QS. an-Nur ayat 4 & QS. an-Nisa ayat 15, penetapan zina wajib menggunakan warta empat orang saksi. Seseorang yg menuduh zina orang lain mesti mengajukan bukti-bukti yg bertenaga & secara khusus relatif berbelit. Apalagi, perbuatan zina cenderung dilakukan secara tertutup sebagai akibatnya amat sulit pembuktiannya. Persaksian baru bisa diterima apabila: 1) baligh & berakal (paham kasus zina); 2) melihat pribadi interaksi seks; 3) adil & obyektif (tidak terdapat dendam menggunakan pelaku zina).
apabila keempat orang saksi menyatakan seorang sudah berzina & memenuhi persyaratan, maka tidak terdapat alasan yg bisa dibenarkan syara’ buat membatalkan hukumannya. Kesaksian mereka tertolak apabila warta ketika & tempatnya tidak selaras satu sama lain. Karenanya, apabila tidak terbukti, tuduhan itu justru berbalik pada yg menuduh.
Posting Komentar untuk "Hukum Zina Dalam Agama Islam"